Psikologi Anak
Psikologi Anak
Menghukum & Memarahi Anak? Ah, Kuno!
APAKAH Anda sependapat bahwa pola didikan orangtua zaman dahulu sudah tak bisa diterapkan di era sekarang? Tak perlu main pukul, mencubit, atau suara Anda harus naik satu oktaf saat melarang si kecil berulah, kan? Nah, simak 'cara halus' berikut untuk mendisiplinkan buah hati Anda!
Saat si kecil tidak menuruti permintaan orangtua, kerap kali hal ini menjadi sumber kemarahan. Sebaliknya, bersikap lembut pada buah hati dianggap terlalu memanjakan. Padahal mengajarkan anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok bisa diterapkan dengan disipilin positif.
"Disiplin positif adalah penerapan disiplin yang bertujuan tidak hanya mengatasi masalah tingkah laku, tetapi juga dapat membantu anak mengembangkan rasa percaya diri (self confidence), kedisiplinan diri, tanggung jawab, harga diri (self-esteem) yang sehat serta berbagai keterampilan hidup (life skills). Terutama keterampilan dalam memecahkan masalah," ucap konsultan ilmiah dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPTUI) Yelia Dini Puspita, M.Psi.
Prinsip 3 R
Dalam menerapkan disiplin positif, orangtua perlu memerhatikan unsur 3R, yaitu respect, rules, dan role models.
1. Respect (menghargai anak)
Orangtua merupakan figur otoritas di rumah, namun dalam penerapan disiplin Anda harus menghargai anak, bukan hanya menuntut atau mengharuskan anak menuruti perintah.
Hal yang dapat dilakukan orangtua adalah memberikan tanggung jawab di rumah, yang disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Semisal memberikan tanggung jawab merapikan kembali mainan yang telah digunakan, tanggung jawab untuk tidak bermain dengan benda-benda yang berbahaya, atau pada anak yang sudah bersekolah dapat diajarkan bertanggung jawab merapikan peralatan sekolah yang akan dibawanya.
Selain itu, Anda perlu bersikap adil dan seimbang dalam memberikan penghargaan terhadap tingkah laku yang diharapkan maupun konsekuensi terhadap tindakan yang tidak diharapkan.
"Seringkali orangtua lebih menonjolkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak dan memberikan hukuman ataupun teguran atas kesalahan tersebut. Tetapi jika anak melakukan tingkah laku yang positif, tidak terlalu diperhatikan. Akan lebih baik bila orangtua fokus pada tindakan positif yang dilakukan anak, sehingga anak termotivasi untuk mengulanginya," saran psikolog bertutup kepala ini.
Kemudian kontrol diri orangtua patut diperhatikan. Orangtua harus menjaga emosi agar tetap netral dalam menerapkan disiplin.
"Hal yang harus dihindari ketika anak melanggar disiplin adalah berteriak-teriak memarahinya, menyakiti secara fisik seperti memukul atau mencubit, serta mempermalukan anak. Dengan berteriak-teriak memarahi, anak menjadi tidak fokus pada tindakannya yang salah, tetapi lebih fokus pada rasa takut mendengar suara yang keras. Sedangkan hukuman fisik, dapat ditiru anak dan menjadi alternatif pemecahan masalah baginya kelak dalam memecahkan masalah," ucap Yelia.
2. Rules (penerapan aturan)
Menerapkan aturan pada si kecil harus bersifat jelas dan spesifik. Jadi, aturan berisi tingkah laku yang diharapkan dari anak atau tugas-tugas lainnya dapat dilakukan anak setiap hari. Aturan hendaknya disesuaikan dengan usia anak dan orangtua wajib bersikap tegas dan konsisten dalam menerapkan aturan, namun tetap disertai sikap tenang dan hangat.
3. Role Models (menjadi contoh bagi anak)
Orangtua merupakan contoh bagi anak. Jadi jika mengharapkan anak bertingkah laku tertentu, Anda hendaknya memberikan contoh dengan menampilkan tingkah laku tersebut. Bukankah anak belajar dengan meniru?
Ganti Hukuman dengan Konsekuensi
Selama ini, salah satu cara yang kerap dilakukan orangtua untuk mendisiplinkan anak yaitu dengan hukuman. Dalam disiplin positif dikenal adanya konsekuensi, yakni hal-hal yang mengikuti atau terkait dengan tindakan anak.
"Ada dua jenis konsekuensi, terdiri atas konsekuensi natural dan konsekuensi logis. Konsekuensi natural adalah konsekuensi yang terjadi secara alami, seperti kalau hujan-hujanan akan basah, jika tidak makan akan kelaparan. Sedangkan konsekuensi logis merupakan konsekuensi dari pilihan yang dibuat oleh anak dan dapat ditentukan sesuai perjanjian," papar Yelia.
Proses pembelajaran konsekuensi, sambung Yelia, dapat dimulai saat anak mendapatkan suatu kesempatan, maka ia bertanggung jawab atas kesempatan tersebut dan memiliki konsekuensi yang menyertainya.
Semisal anak mendapatkan kesempatan bermain bersama teman di luar rumah, maka anak bertanggung jawab menjaga tingkah lakunya selama bermain, seperti bertingkah laku sopan dan tidak menyakiti teman. Jika anak melanggarnya, konsekuensinya anak hanya boleh bermain di rumah, tentunya ia harus meminta maaf pada temannya tersebut.
"Konsekuensi dapat berupa kehilangan atau penundaan hal-hal yang disukai anak, contohnya anak tidak diperbolehkan main keluar rumah bersama teman selama beberapa hari karena ia memukul temannya," ungkap Yelia.
Pada dasarnya, masih menurut Yelia, penerapan konsekuensi lebih efektif dibandingkan memberi hukuman.
"Biasanya hukuman hanya fokus membuat anak jera, namun dalam jangka waktu pendek. Artinya anak jera saat diberi hukuman, tetapi kemudian mengulang tindakan yang sama di lain waktu. Sedangkan konsekuensi lebih fokus pada solusi dan bersifat jangka panjang. Tentu saja jika konsekuensi tersebut melibatkan anak dalam pembuatannya, disertai diskusi mengapa harus dilakukan, sehingga anak mengetahui kesalahannya dan dapat mengubah perilakunya," imbuhnya.
Reward atau Dukungan (encouragement)
Setelah disiplin positif berhasil dijalankan, maka orangtua perlu memperkuat tampilnya tingkah laku yang positif. Umumnya orangtua memberikan hadiah (reward) pada si kecil. Idealnya, pemberian reward harus sesuai dengan tindakan yang dilakukan anak, serta tetap fokus pada tingkah lakunya.
"Lebih baik jika orangtua memberikan dukungan (encouragement), saat anak melakukan tindakan positif maupun negatif. Dukungan dapat berbentuk pujian atau penghargaan bila anak melakukan tindakan positif, serta membantu anak mencari solusi ketika anak menampilkan tindakan negatif atau tidak diharapkan. Semisal anak mendapat nilai buruk di sekolah, orangtua dapat memberikan dukungan dengan mengatakan 'sekarang kakak dapat nilai lima untuk ulangan matematika. Tapi mama tetap sayang kakak kok. Kira-kira gimana ya supaya lain kali kakak dapat nilai lebih tinggi?' Dengan demikian, anak tetap merasa dirinya dihargai," tandas Yelia. (Mom& Kiddie)
APAKAH Anda sependapat bahwa pola didikan orangtua zaman dahulu sudah tak bisa diterapkan di era sekarang? Tak perlu main pukul, mencubit, atau suara Anda harus naik satu oktaf saat melarang si kecil berulah, kan? Nah, simak 'cara halus' berikut untuk mendisiplinkan buah hati Anda!
Saat si kecil tidak menuruti permintaan orangtua, kerap kali hal ini menjadi sumber kemarahan. Sebaliknya, bersikap lembut pada buah hati dianggap terlalu memanjakan. Padahal mengajarkan anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok bisa diterapkan dengan disipilin positif.
"Disiplin positif adalah penerapan disiplin yang bertujuan tidak hanya mengatasi masalah tingkah laku, tetapi juga dapat membantu anak mengembangkan rasa percaya diri (self confidence), kedisiplinan diri, tanggung jawab, harga diri (self-esteem) yang sehat serta berbagai keterampilan hidup (life skills). Terutama keterampilan dalam memecahkan masalah," ucap konsultan ilmiah dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPTUI) Yelia Dini Puspita, M.Psi.
Prinsip 3 R
Dalam menerapkan disiplin positif, orangtua perlu memerhatikan unsur 3R, yaitu respect, rules, dan role models.
1. Respect (menghargai anak)
Orangtua merupakan figur otoritas di rumah, namun dalam penerapan disiplin Anda harus menghargai anak, bukan hanya menuntut atau mengharuskan anak menuruti perintah.
Hal yang dapat dilakukan orangtua adalah memberikan tanggung jawab di rumah, yang disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Semisal memberikan tanggung jawab merapikan kembali mainan yang telah digunakan, tanggung jawab untuk tidak bermain dengan benda-benda yang berbahaya, atau pada anak yang sudah bersekolah dapat diajarkan bertanggung jawab merapikan peralatan sekolah yang akan dibawanya.
Selain itu, Anda perlu bersikap adil dan seimbang dalam memberikan penghargaan terhadap tingkah laku yang diharapkan maupun konsekuensi terhadap tindakan yang tidak diharapkan.
"Seringkali orangtua lebih menonjolkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak dan memberikan hukuman ataupun teguran atas kesalahan tersebut. Tetapi jika anak melakukan tingkah laku yang positif, tidak terlalu diperhatikan. Akan lebih baik bila orangtua fokus pada tindakan positif yang dilakukan anak, sehingga anak termotivasi untuk mengulanginya," saran psikolog bertutup kepala ini.
Kemudian kontrol diri orangtua patut diperhatikan. Orangtua harus menjaga emosi agar tetap netral dalam menerapkan disiplin.
"Hal yang harus dihindari ketika anak melanggar disiplin adalah berteriak-teriak memarahinya, menyakiti secara fisik seperti memukul atau mencubit, serta mempermalukan anak. Dengan berteriak-teriak memarahi, anak menjadi tidak fokus pada tindakannya yang salah, tetapi lebih fokus pada rasa takut mendengar suara yang keras. Sedangkan hukuman fisik, dapat ditiru anak dan menjadi alternatif pemecahan masalah baginya kelak dalam memecahkan masalah," ucap Yelia.
2. Rules (penerapan aturan)
Menerapkan aturan pada si kecil harus bersifat jelas dan spesifik. Jadi, aturan berisi tingkah laku yang diharapkan dari anak atau tugas-tugas lainnya dapat dilakukan anak setiap hari. Aturan hendaknya disesuaikan dengan usia anak dan orangtua wajib bersikap tegas dan konsisten dalam menerapkan aturan, namun tetap disertai sikap tenang dan hangat.
3. Role Models (menjadi contoh bagi anak)
Orangtua merupakan contoh bagi anak. Jadi jika mengharapkan anak bertingkah laku tertentu, Anda hendaknya memberikan contoh dengan menampilkan tingkah laku tersebut. Bukankah anak belajar dengan meniru?
Ganti Hukuman dengan Konsekuensi
Selama ini, salah satu cara yang kerap dilakukan orangtua untuk mendisiplinkan anak yaitu dengan hukuman. Dalam disiplin positif dikenal adanya konsekuensi, yakni hal-hal yang mengikuti atau terkait dengan tindakan anak.
"Ada dua jenis konsekuensi, terdiri atas konsekuensi natural dan konsekuensi logis. Konsekuensi natural adalah konsekuensi yang terjadi secara alami, seperti kalau hujan-hujanan akan basah, jika tidak makan akan kelaparan. Sedangkan konsekuensi logis merupakan konsekuensi dari pilihan yang dibuat oleh anak dan dapat ditentukan sesuai perjanjian," papar Yelia.
Proses pembelajaran konsekuensi, sambung Yelia, dapat dimulai saat anak mendapatkan suatu kesempatan, maka ia bertanggung jawab atas kesempatan tersebut dan memiliki konsekuensi yang menyertainya.
Semisal anak mendapatkan kesempatan bermain bersama teman di luar rumah, maka anak bertanggung jawab menjaga tingkah lakunya selama bermain, seperti bertingkah laku sopan dan tidak menyakiti teman. Jika anak melanggarnya, konsekuensinya anak hanya boleh bermain di rumah, tentunya ia harus meminta maaf pada temannya tersebut.
"Konsekuensi dapat berupa kehilangan atau penundaan hal-hal yang disukai anak, contohnya anak tidak diperbolehkan main keluar rumah bersama teman selama beberapa hari karena ia memukul temannya," ungkap Yelia.
Pada dasarnya, masih menurut Yelia, penerapan konsekuensi lebih efektif dibandingkan memberi hukuman.
"Biasanya hukuman hanya fokus membuat anak jera, namun dalam jangka waktu pendek. Artinya anak jera saat diberi hukuman, tetapi kemudian mengulang tindakan yang sama di lain waktu. Sedangkan konsekuensi lebih fokus pada solusi dan bersifat jangka panjang. Tentu saja jika konsekuensi tersebut melibatkan anak dalam pembuatannya, disertai diskusi mengapa harus dilakukan, sehingga anak mengetahui kesalahannya dan dapat mengubah perilakunya," imbuhnya.
Reward atau Dukungan (encouragement)
Setelah disiplin positif berhasil dijalankan, maka orangtua perlu memperkuat tampilnya tingkah laku yang positif. Umumnya orangtua memberikan hadiah (reward) pada si kecil. Idealnya, pemberian reward harus sesuai dengan tindakan yang dilakukan anak, serta tetap fokus pada tingkah lakunya.
"Lebih baik jika orangtua memberikan dukungan (encouragement), saat anak melakukan tindakan positif maupun negatif. Dukungan dapat berbentuk pujian atau penghargaan bila anak melakukan tindakan positif, serta membantu anak mencari solusi ketika anak menampilkan tindakan negatif atau tidak diharapkan. Semisal anak mendapat nilai buruk di sekolah, orangtua dapat memberikan dukungan dengan mengatakan 'sekarang kakak dapat nilai lima untuk ulangan matematika. Tapi mama tetap sayang kakak kok. Kira-kira gimana ya supaya lain kali kakak dapat nilai lebih tinggi?' Dengan demikian, anak tetap merasa dirinya dihargai," tandas Yelia. (Mom& Kiddie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar